First Experience of Hiking at Curug Cibeureum
Pendakian pertamaku disambut fajar—terlihat jelas saat pertama kali kakiku melangkah keluar rumah dengan mata setengah mengantuk. Kala itu langit berwarna merah keungu-unguan, sontak mataku terbelalak kemudian berkata lirih, “indah,” tidak lupa merogoh kantong celana mengambil ponsel untuk mengabadikan momen yang tidak akan terlupakan.
cantik bukan?
Fyi, ini adalah pengalaman pertamaku mendaki. Sebelumnya tidak pernah sampai tercetus apalagi terlintas di benak untuk melakukannya, ini terjadi jauh dari perkiraan dan ekspektasiku tentang curug. Awal mula aku mengira untuk sampai di curug hanya perlu menggunakan transportasi umum kemudian mata kita akan dimanjakan langsung dengan derasnya air terjun beserta hijaunya pepohonan.
Ekspektasiku diremukkan oleh kenyataan. Oke, balik ke topik. Perjalanan pun dimulai. Titik kumpul dimulai dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pemandu mulai mengambil alih menjelaskan—jarak antara titik kumpul sampai puncak, berapa waktu tempuh, perjalanan seperti apa yang akan dilewati dan berapa pos yang dapat digunakan untuk beristirahat. Dari setiap penjelasan yang diuraikan, aku terkejut ketika dijelaskan waktu tempuh karena untuk sampai ke puncak menempuh 2,5 jam. Apa nggak menyala kakiku? Hiks.
Persiapan fisik dan mental adalah satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan dari mendaki. Dan, ini merupakan wejangan dari pendaki senior kepada pendaki pemula—melatih kekuatan fisik, seperti berolahraga saja tidaklah cukup melainkan kita harus mempunyai daya tahan tubuh yang kuat karena dalam mendaki dengan jarak tempuh yang pendek sekalipun fisik akan terasa lelah, apalagi bagi orang yang tidak terbiasa berolahraga.
Setelah melewati jalan bebatuan nan terjal, kini kaki dimanjakan oleh jalan yang normal—melewati jembatan, sisi kanan dan kiri dipenuhi oleh pepohonan, kemudian jikalau kita melihat celah pada tempat kaki berpijak, kalian akan melihat sungai yang sudah mati. Perlahan langkah demi langkah berlangsung, seketika terlintas pemikiran ternyata hidup seperti mendaki ya. Lhoo, kenapa bisa berkata seperti itu?
Tujuan dari mendaki adalah sampai pada puncak. Untuk mencapai puncak, kita di hadapkan oleh perjalanan yang tidak mudah—terjal, bebatuan, berkelok, kiri kanan jurang, bercelah dan masih banyak lainnya. Bukankah sama dengan orang yang hidup dengan tujuan? Mungkin sebagian dari kita merasa kalau tujuan masih terasa jauh—belum terlihat puncaknya, belum dapat memanen hasil, prosesnya lelah dan hampir menyerah. Sama seperti mendaki, bisa saja sekarang masih di perjalanan pos 2—jalannya penuh bebatuan, kiri kanan jurang dan licin dipenuhi lumut.
Ketika berada di titik seperti ini, kita mulai gelisah dan khawatir kemudian terlintas pertanyaan yang mempertanyakan kualitas diri sendiri, "kira-kira apakah tujuanku sudah tepat? Apakah hasilnya akan sesuai dengan ekspektasi? Bagaimana kalau gagal? Apa mundur saja kali ya?" Terlepas dari itu, kita juga melihat teman seperjuangan sudah mencapai puncak, "kok bisa?"—pertanyaan sekaligus pemicu dugaan-dugaan negatif tentang orang itu. Padahal kuncinya adalah fokus pada tujuan dan diri sendiri, kita tidak perlu memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya kita pikirkan.
Jangan menjadikan keberhasilan orang lain melemahkan diri sendiri—minder kemudian memilih untuk mundur, melainkan menjadikan motivasi untuk maju dan semangat dalam mengapai tujuan. Memang tidaklah mudah untuk tidak melihat kanan kiri, namun mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu mencari tahu tentang keberhasilan orang lain? sementara kamu tetap stuck pada progressmu yang itu-itu saja.
Mendekati pada penghujung tahun, kita semakin berambisi dalam mengejar target tujuan atau kita sedang duduk beristirahat tidak lupa mengulas kembali progress yang sudah kita lakukan selama tahun 2024. Kenapa perlu mengulas progress yang telah dilakukan?—mengamati setiap langkah yang kita ambil, apa yang dilakukan? apa konsep atau prinsip yang digunakan berhasil mendekatkan pada tujuan? atau sebaliknya? Terkadang kita butuh momen seperti ini layaknya seperti mendaki butuh istirahat untuk mengisi energi kembali.
Saat mendaki tentunya kita sudah tahu jalan mana yang akan mengantarkan kita pada puncak bak kehidupan—kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan pertama kali. Tentunya kamu juga telah mempersiapkan persediaan yang akan kamu bawa, tidak hanya itu, kamu juga harus bisa menerima konsekuensi dari apa yang menjadi keputusanmu. Misal, hujan baru saja berhenti kemudian kamu hendak melanjutkan perjalanan menuju puncak dengan tanah yang licin. Langkah pertama, kamu harus berhati-hati; kedua, jikalau kamu terjatuh, kamu tidak lupa untuk bangkit.
Perjalanan untuk sampai pada tujuan tidaklah mudah. Progressnya menyakitkan bahkan beberapa lainnya memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan, alhasil mereka stuck atau membusuk di tempat pemberhentian. Poin terpenting adalah nikmati setiap progressnya sampai suatu hari (hari kemenangan) kamu puas, merasa layak dan pantas mendapatkannya. So, take your progress and enjoy the result.




👍👍👍
BalasHapus