Review Film : Bolehkah Sekali Saja Kumenangis
sumber : instagram
Keluarga adalah rumah—tempat pertama diperoleh rasa aman, nyaman dan kasih sayang. Dengan kata lain, keluarga akan menjadi satu-satunya tempat berlindung di kala dunia sedang tidak baik-baik saja. Namun, bagaimana jika keluarga yang kita sebut sebagai rumah adalah tempat berpulang yang paling tidak diinginkan? Bagaimana jika keluarga yang kita sebut sebagai rumah adalah tempat paling menakutkan dari dunia yang kita jumpai di luar sana? Bagaimana bisa disebut rumah kalau setiap kali pulang yang timbul hanya rasa takut, cemas dan kekerasan?
Konselor asal Inggris bernama Bobbi menjelaskan bahwa trauma terbesar tercipta dari keluarga. Seseorang yang mengalami trauma hidup seperti manusia pada umumnya—mereka mampu menyembunyikan rasa sakit, sedih, takut dan luka dengan kedok wajah bahagia.
Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis terinspirasi dari lagu berjudul Runtuh yang dinyanyikan oleh Feby Putri dan Fiersa Besari bercerita tentang kehidupan keluarga Tari (diperankan oleh Prilly Latuconsina) yang jauh dari kata harmonis sekaligus menjadi trauma terbesar akibat kekerasan rumah tangga yang ia dapat sedari kecil.
Setiap ia pulang, ia mendapati sang Ayah Pras (diperankan oleh Surya Saputra) melakukan kekerasan secara verbal dan fisik terhadap sang Ibu Devi (diperankan oleh Dominique Sanda). Sang ibu hanya bisa diam dan selalu yakin bahwa sang suami akan berubah. Pada kenyataannya, hari lepas hari amarah sang suami semakin membabi buta. Hal ini terjadi karena sang ayah mempunyai pengalaman atau trauma masa lalu yang dilakukan orang tuanya terhadapnya dulu.
Tari tergabung dalam support group bersama Baskara (diperankan oleh Pradikta Wicaksono) yang dipimpin oleh Nina (diperankan oleh Widi Mulia). Di sana mereka tidak hanya bertemu dengan orang yang senasib, namun mereka bercerita—mulai awal masalah sampai tahap dimana mereka bisa damai dengan keadaan.
Film ini tercipta karena isu ramai di kalangan masyarakat, yaitu kesehatan mental yang selalu menjadi perbincangan hangat sekaligus momok yang tak akan lekang oleh waktu. Film ini juga menggambarkan tokoh dengan sangat sederhana, layaknya seperti kehidupan masyarakat secara umum, contoh : Tari digambarkan sebagai pekerja kantoran yang tak lepas dari kendaraan umum dan penampilan tak terurus.
Emosi dari setiap alur yang dipaparkan dalam film dapat dirasakan penonton—sedih, senang, kecewa dan terharu mengkombinasi menjadi satu.
Beberapa dari kita mempunyai trauma yang entah darimana asalnya—dari keluarga, pertemanan, bisnis ataupun kisah cinta sendiri. Yang ingin ku tekankan di sini, semua orang mempunyai trauma yang berbeda, namun ini kembali ke diri sendiri—apakah kita ingin berdamai dengan trauma atau tidak? Dalam melakukan perdamaian dengan trauma kita di hadapkan dengan teman seperjuangan atau dapat dikatakan senasib—mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu akan menjadi teman yang baik, menuntun kita untuk berdamai dan menjalani kehidupan dengan pikiran baik; dan terakhir adalah mereka yang akan melampiaskan trauma ke jalan sesat misalkan pergaulan bebas, dan lainnya.
Selanjutnya, penting sekali memiliki kecerdasan emosional. Dengan memiliki kecerdasan secara emosional, kita mampu mengenali emosi dalam diri kita dan orang lain, serta mengendalikannya menjadi energi yang bermanfaat dan positif.
Yang terakhir inginku tekankan adalah aku percaya manusia dapat berubah, namun jika berhadapan dengan orang tempramental lebih baik dihindari karena berubah itu butuh waktu. Dia bukan power ranger yang berubah secara instan, apalagi ia adalah pribadi yang secara emosional buruk. Jika kamu sudah tidak tahan dengan karakternya, meninggalkannya adalah jawaban akhir, sayangi diri sendiri. Kita tidak ada hak bertahan dalam hubungan tidak sehat, tapi kita berhak untuk bahagia.
Mari berdamai dan pulih dengan cara yang baik~



👍👍👍
BalasHapus